02 July, 2009

;

Pilonian, No Choice Be Abnormal (Ray Asmoro)

PilonianJudul Buku : Pilonian, No Choice Be Abnormal
Penulis : Ray Asmoro
Penerbit : FoU Media Publisher
Terbit : April 2009
Tebal : 163 Halaman

Menggugat Kepilonan Manusia

Perilaku pura-pura bodoh atau pura-pura tidak tahu yang biasa disebut belagak pilon, sering dilakukan manusia untuk mengelak. Terutama untuk mengelak dari tanggung jawab dan menghindar dari kesalahan yang dilakukan. Fenomena ini ditanggap secara baik dan dituangkan dalam buku Pilonian, No Choice Be Abnormal yang ditulis Gigih Runner Asmoro Yudho atau yang lebih dikenal Ray Asmoro.

Buku setebal 163 halaman ini memuat 26 artikel lepas yang bertema tentang kepilonan manusia dalam kehidupan sehari-hari. Dalam buku terbitan FoU Media Publisher penulis mengajak pembaca merefleksikan diri terhadap realitas kehidupan yang sering dilupakan atau tepatnya pura-pura dilupakan.

Meski disajikan disajikan dalam bahasa yang cair dan gaya yang bertutur sederhana, buku ini seakan mengugat kepilonan manusia dalam menghadapi kenyataan hidup. Misalnya dalam artikel Matematika Sedekah, diajarkan bahwa semakin banyak sedekah akan semakin bertambah kekayaan, namun kebanyakan orang tetap memilih sedikit bersedekah karena takut miskin.

Secara garis besar buku ini mengajak pembaca merekonstruksi kembali cara berpikir dan bersikap. Baik melalui penyadaran terhadap prinsip hidup yang keliru, juga belajar dari hal sederhana di sekitar kita. Sehingga menghadapi kehidupan ini dengan pola pikir yang realistis dan tidak pura-pura bodoh untuk menghindari masalah.

Buku ini bisa lebih kuat bila diedit lebih akurat, agar kesalahan mendasar seperti penulisan kata “di” yang seharusnya dipisah atau disambung tidak banyak bertebaran. Mungkin karena hanya digarap berdua, ada keterbatasan dalam pemilihan huruf, pembuatan cover, dan penyusunan halaman yang tidak pas. (wasis wibowo)

>>resensibukubaru.com

;

Catatan dari Balik Dapur Si Tukang Masak (Bara Pattiradjawane)

Bara PattiradjawaneJudul Buku : Catatan dari Balik Dapur Si Tukang Masak
Penulis : Bara Pattiradjawane
Penerbit : Gagas Media
Terbit : Juli 2009
Tebal : 258 Halaman
Harga : Rp39.500

Resep Penuh Cinta Si Tukang Masak

ANDA yang hobi masak-memasak, pasti tidak asing lagi dengan nama Bara Pattiradjawane. Karena, lelaki dijuluki Si Tukang Masak ini begitu popular karena secara rutin tampil mengisi acara kuliner di sebuah stasiun televisi swasta dan sebuah majalah di Ibu Kota. Kehangatan dan keramahannya pun membuatnya menjadi tukang masak favorit bagi para pecinta kuliner.

Namun, bukan sekadar wajahnya sering nonggol di layar kaca dan media cetak yang membuatnya terkenal. Dia memiliki kelebihan dari cara memasak dan racikan resep yang disajikan begitu khas. Selain pilihan bahan-bahannya relatif mudah didapat, resepnya dan cara memasaknya aplikatif. Siapa pun bisa melakukannya dan menjadikan kegiatan memasak disukai semua orang.

Di tangan Bara, begitu biasa dia disapa, pelbagai jenis makanan menjadi mudah dibuat dan penuh cita rasa. Mulai dari makanan kelas warung tegal sampai sajian hotel berbintang, dari jajanan pasar hingga kue-kue pesta, semua dapat diracik dan diolah dengan cara sederhana sehingga rasanya menjadi luar biasa.

Kepiawaian Bara dalam mengolah dan menyajikan beragam makanan lahir dari kecintaannya terhadap dunia kuliner. Hal itu membuat inovasi, kreativitas, dan improvisasinya dalam memasak menjadi begitu unik dan original. Boleh jadi bahan, teknik, dan resep yang digunakan sama, namun sentuhan cintanya membuat hasil masakannya benar-benar berbeda.

Sentuhan penuh cinta itu pun terasa dalam buku kuliner kedua yang baru diluncurkan baru-baru ini. Dalam buku berjudul Catatan dari Balik Dapur Si Tukang Masak yang diterbitkan Gagas Media, tak hanya menyajikan berbagai resep masakan khas Bara. Juga mengungkapkan berbagai cerita di balik lahirnya sebuah resep masakan yang dibuatnya. Jadilah buku setebal 258 halaman ini sebuah buku kuliner yang unik.

Dari berbagai cerita menarik yang dituangkan Bara dalam buku ini, diketahui bagaimana kreativitasnya Si Tukang Masak ini. Dia mampu menjadikan menu masakan warung tegal, tukang kue keliling, masakan rumah makan ternama, dan resep masakan hotel, menjadi inspirasi. Lalu memodifikasinya menjadi lebih menarik, seperti membuat soto ayam, kue putu, sampai paste, dan spaghetti tuna.

Diungkap pula mengapa kecintaan Bara terhadap dunia masak-memasak ini begitu besar. Seperti, ketika kecil dia suka main masak-masakan bersama teman sepermainan membuat gado-gado dari tanah, atau saat pertama memasak domba kecap hasilnya malah gosong. Namun, pengalamannya itu mengubahnya menjadi seorang yang tak takut salah dalam melakukan inovasi untuk memasak. Sehingga buku ini mampu memotivasi siapa saja yang membacanya untuk menyukai dan mencintai kegiatan masak-memasak.

Pengalamannya hidup di luar negeri pun menambah kaya inovasi resep masakan Bara. Ditambah kecintaanya dengan kuliner tanah air, menjadikannya kombinasi yang penuh warna sesuai cita rasa Indonesia , seperti menu kerang hijau dengan kuah wine. Semua bisa disajikan di mana saja dan kapan pun, disesuaikan suasana dan kebutuhan.

Kisah yang penuh warna dan rasa dalam buku ini semakin menarik dengan tampilan yang funky dan penuh warna. Buku ini penuh keceriaan dan kecintaan terhadap dunia memasak, sehingga patut dimiliki siapa pun, termasuk yang baru belajar untuk memasak.

Bara mengubah pandangan bahwa memasak yang selama ini sulit dan menjadi wilayah para chef, koki, atau ibu-ibu, menjadi sangat mudah dan bisa dilakukan siapa saja. Memasak bila ditambahkan ‘resep’ cinta jadi bisa begitu menyenangkan dan penuh warna. (wasis wibowo)

>> resensibukubaru.com

29 June, 2009

;

Alan Turing

Alan TuringThis obituary for Alan Turing appeared in The Times on June 16, 1954. The text refers to the war interrupting Turing’s mathematical career for six critical years. At the time that this article was written, Turing’s immense contribution to the cracking of the German Enigma code was a state secret of the highest order, and was to remain so for several more decades. There is also no mention in the text of Turing having committed suicide, a taboo subject in 1954.

ALAN TURING
Dr. Alan Mathison Turing, O.B.E., F.R.S., whose death at the age of 41 has already been reported, was born on June 23, 1912, the son of Julius Mathison Turing.
He was educated at Sherborne School and at King’s College, Cambridge, of which he was elected a Fellow in 1935. He was appointed O.B.E. in 1941 for wartime services in the Foreign Office and was elected F.R.S. in 1951. Until 1939 he was a pure mathematician and logician, but after the war most of his work was connected with the design and use of automatic computing machines, first at the National Physical Laboratory and then since 1948 at Manchester University, where he was a Reader at the time of his death.
The discovery which will give Turing a permanent place in mathematical logic was made not long after he had graduated. This was his proof that (contrary to the then prevailing view of Hilbert and his school at Göttingen) there are classes of mathematical problems which cannot be solved by any fixed and definite process. The crucial step in his proof was to clarify the notion of a “definite process,” which he interpreted as “something that could be done by an automatic machine.” Although other proofs of insolubility were published at about the same time by other authors, the “Turing machine” has remained the most vivid, and in many ways the most convincing, interpretation of these essentially equivalent theories. The description that he then gave of a “universal” computing machine was entirely theoretical in purpose, but Turing’s strong interest in all kinds of practical experiment made him even then interested in the possibility of actually constructing a machine on these lines.
It was natural at the end of the war for him to accept an invitation to work at the National Physical Laboratory on the development of the ACE, the first large computer to be begun in this country. He threw himself into the work with enthusiasm, thoroughly enjoying the rapid alternation of abstract questions of design with problems arising out of the use of the machine. It was at this time that he became involved in discussions on the contrasts and similarities between machines and brains. Turing’s view, expressed with great force and wit, was that it was for those who saw an unbridgeable gap between the two to say just where the difference lay.
The war interrupted Turing’s mathematical career for the six critical years between the age of 27 and 33. A mathematical theory of the chemical basis of organic growth which he had lately started to develop has been tragically interrupted, and must remain a fragment. Important though his contributions to logic have been few who have known him personally can doubt that, with his deep insight into the principles of mathematics and of natural science, and his brilliant originality, he would, but for these accidents, have made much greater discoveries.
Source: The Times [http://www.the-times.co.uk/]




 

1001 Ilmu Copyright © 2009 Classicstudio